Minggu, 22 November 2020

Interpretasi

Kenapa sebagian ulama terdahulu menulis dengan bahasa syair, puisi, simbol atau yang sejenisnya?
Salah satu contoh Hujatul islam Al Gazali RA pernah di cela karna menggunakan bahasa yang sukar di fahami di sebagian karyanya, kemudian beliau menjawab celaan ini dengan entengnya, beliau RA berkata yang kurang lebih seperti ini ; "Dimana-mana yang mengikat itu maknanya bukan kata atau kalimatnya."

Jadi begini loh mas... :
Pada Umumnya, bukankah segala sesuatu yang tidak bisa di cerna secara spontan itu membutuhkan interpretasi, kenapa..? Karena interpretasi itu bisa merangsang seseorang yang haus akan pengetahuan saya ulangi (haus akan pengetahuan)! untuk berfikir dan melakukan penelitian yang insa Allah ia mengerti bahkan keunggulan metode ini sangat boleh jadi seseorang mendapat disiplin ilmu yang lain dalam perjalanannya berfikir dan melakukan penelitian itu.

Tentu saja bekal pertama yang harus kamu bawa adalah Khusnudzon saya ulangi (khusnudzon)!, dengannya kamu mengetahui kebenaran dengan 'dalil-dalil' yang kuat atau mengetahui kesalahan dengan bantahan yang kuat.
Seseorang yang membantah sesuatu atau membenarkan sesuatu tanpa mengetahui hakikat dari yang dibantah atau yang dibenarkannya maka ia melakukan tindakan yang serampangan, bukankah ini tidak layak di lakukan oleh orang yang berfikir.

Kalu kita menolak interpretasi atau hal yang menimbulkannya maka bagaimana kita menerima ilmu tafair dan asbabunuzulnya, ilmu hadits dan asbabul wurudnya, ilmu ushul dan fikihnya, ilmu tauhid dan tasawufnya atau hubung kait antara kesekian di siplin ilmu-ilmu itu, Bukankah semua itu hasil interpretasi apakah itu dari makna, kondisi, suasan, waktu, tempat kejadian dsb, hal-hal yang mendatangkannya dan efek yang di timbulkannya.

Sebenarnya dalam kehidupan yang kita jalani sehari-haripun di penuhi hal ihwal yang tidak bisa kita fahami secara spontan. Terlepas dari salah dan benar dalam pengambilan keputusan, bukankah kita telah berinterpretasi, apakah itu secara langsung atau tidak langsung, implisit atau eksplisit, kognitif, intuisi, subjektif, objektif atau bahkan secara akademis.
Wallahualam

Sabtu, 14 November 2020

Berfikir

Berfikirlah. Di dalam Al Quran berkaitan dengan ihwal ini disebutkan sebanyak 18 kali. Kita tau setiap orang muslim sejak kecil di suguhui dalil-dalil deduktif sebagai landasan dari setiap interpretasi sejauh mana kita memahami konsep kebenaran dan ketidak benarkan, artinya kita harus yakin betul dangan kesadaran bahwa hal ini benar dan hal ini salah.
"Berfikirlah, karna berfikir artinya menolak kebodohan dan menerima pengetahuan." Saya bukan sedang mencela keimanan yang berlandaskan deduktifitas tapi saya hendak berbicara bahwa di sinilah "orang awam dan orang alim sama-sama memiliki nilai tapi tidak untuk orang bodoh."
Orang awam memiliki nilai pada amalnya dengan lompatan teologi, orang alim bernilai pada ilmunya dengan mengamalkannya, tapi orang bodoh tidak bernilai karna menghancurkan nilai-nilai.
1. Allah melaknat 'orang yahudi' karna kealimannya (karna menyembunyikan kebenaran).
2. Allah menyesatkan orang nasrani karna kebodohannya (Allah memiliki anak).
3. Allah 'merahmati' orang muslim dengan fikirannya (yang awam juga yang alim).
Wahai orang mukmin hindarilah sifat 1 dan 2.

Karunia dan nikmat

"Kita tidak perlu bersikeras beranggapan bahwa ketoatan atau kemaksiat adalah sebuah 'landasan mutlak' bagi datang atau pergi sebuah karunia Allah SWT, datang atau pergi sebuah karunia tidak selalu berarti datang dan perginya nikmat karena karunia dan nikmat itu dua hal yang berbeda, kadang beriringan kadang juga tidak."
Berhati hatilah pada sebuah karunia karna ia bisa menghijab seseorang dari empunya : jika engkau beranggapan banyaknya karunia adalah hasil dari nikmatnya sebuah ketoatan sebagai rahmat Allah SWT maka itu berarti namruz, firun dan haman serta korun adalah orang yang mesti kita benarkan, jika engkau beranggapan perginya sebuah karunia berarti azab karna kemaksiatan maka Yaqub AS tidak perlu menangis hingga buta, Musa As tidak perlu tersesat di padang teeh, apakah ketoatan Ayub As mesti kita sangsikan juga.
Kamu harus tau jika ketoatan itu sebuah syarat maka ia adalah syarat bagi datangnya nikmat tidak peduli apakah karunia itu ada atau tidak ada, apakah dengan sedikit karunia atau banyaknya karunia. Benar jika ada yang berkata bahwa ketaatan itu juga sebuah karunia maka itu berarti engkau juga harus faham bahwa engkau tidak boleh terhijab oleh ketoatanmu.
'Jangan kamu mengira bahwa azab itu hanya bala bencana atau hilangnya sebuah karunia, jangan juga kamu mengira ciri sebuah nikmat adalah keluasan karunia yang ada padamu sehingga kamu merasa aman dari perbuatan maksiat.
seremeh temehkah pemahamanmu itu?' sehingga azab yang paling mengerikan tersamarkan dari pengawasan hatimu tidak lain adalah ketika Allah SWT menghijabmu darinya : yaitu ketika Allah menghalangimu dari kelembutan-kelembutan kebahagiaannya dan ketika kenikmatan 'bermunajat kepada Allah di cabut dari hatimu'.